Reporter: Dimas Andi | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga minyak mentah dunia kembali melonjak seiring beberapa katalis positif yang membalutnya. Alhasil sejumlah emiten yang bergerak di sektor minyak dan gas berpotensi mengeruk untung dari kenaikan harga komoditas tersebut.
Jumat (13/4), harga minyak West Texas Intermediate (WTI) kontrak pengiriman Mei 2018 di New York Mercantile Exchange mencapai US$ 67,39 per barel atau melejit 11,53% secara year to date. Angka tersebut adalah yang tertinggi sejak Juni 2015.
Kenaikan harga minyak ini datang setelah tensi konflik geopolitik di Suriah yang turut melibatkan kepentingan Amerika Serikat (AS) dan Rusia memanas. Sabtu lalu, Amerika Serikat dan sekutunya benar-benar menembakkan rudal ke Suriah.
Selain itu, keinginan Arab Saudi agar harga minyak dunia mencapai level US$ 80 per barel untuk meningkatkan valuasi harga penawaran saham perdana atawa initial public offering (IPO) Saudi Aramco juga turut mendorong kenaikan harga tersebut.
Analis Samuel Sekuritas Indonesia Arandi Arianto bilang, sentimen konflik geopolitik biasanya tidak mampu memicu pergolakan harga minyak dunia secara konsisten. Menurut dia, secara fundamental, harga minyak dunia masih dipengaruhi oleh sentimen kenaikan produksi minyak AS di tengah meningkatnya permintaan di negara tersebut. Di samping itu, pemangkasan produksi oleh OPEC juga masih menjadi katalis penggerak harga minyak dunia.
Terlepas dari itu, analis Paramitra Alfa Sekuritas William Siregar sepakat, tren kenaikan harga minyak dunia yang terjadi saat ini dapat berdampak positif bagi emiten-emiten di sektor migas, khususnya yang bergerak di industri hulu (upstream).
Kenaikan harga minyak dunia dapat membuat sumur-sumur minyak yang sudah hampir habis atau belum dioptimalkan dapat dieksplorasi kembali oleh emiten migas. “Keinginan untuk melakukan eksplorasi meningkat begitu harga minyak dunia mengalami kenaikan,” kata Arandi, Jumat (13/4).
Analis MNC Sekuritas Muhamad Rudy Setiawan mengamini bahwa kenaikan harga minyak dunia dapat membuka kesempatan bagi emiten migas untuk melakukan ekspansi berupa eksplorasi minyak. Hanya saja, ekspansi tersebut belum bisa dilakukan dengan cepat. “Perusahaan harus melihat sampai sejauh mana harga minyak bergerak ke depannya,” ujar dia.
Emiten membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit untuk melakukan penelitian hingga pembukaan blok yang akan dieksplorasi.
Kendati demikian, emiten migas dapat memanfaatkan momentum kenaikan harga minyak dunia untuk mendistribusikan cadangan minyaknya secara maksimal. Sebab, ketika harga minyak dunia sedang mengalami penurunan, emiten cenderung menahan cadangan minyak yang dimilikinya.
Selain itu, dalam jangka pendek peningkatan harga minyak dunia saat ini berpotensi mendongkrak laba emiten-emiten di sektor migas pada semester pertama 2018.
Saham ikut naik
Tren kenaikan harga minyak dunia dinilai Arandi juga dapat menjadi katalis positif bagi pergerakan harga saham emiten migas. Mengingat pergerakan harga saham emiten migas sejalan dengan tren harga minyak dunia yang menjadi bisnis utama emiten tersebut.
Tapi ke depannya, selain didukung oleh tren harga minyak dunia, kinerja emiten migas juga dipengaruhi oleh kondisi cuaca. Jika cuaca memburuk, hal itu bisa menjadi tantangan tersendiri bagi emiten di sektor tersebut. “Kegiatan eksplorasi bisa terganggu jika cuaca dalam keadaan buruk,” katanya.
William menambahkan, faktor lain yang tak kalah penting adalah kondisi fundamental dari masing-masing emiten tersebut. Dari situ ia melihat, baru PT Elnusa Tbk (ELSA) dan PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) yang mengalami kenaikan harga saham secara signifikan sewaktu harga minyak sedang menanjak.
William pun lebih menyukai ELSA sebagai emiten migas yang berpotensi memiliki kinerja apik di tengah tren kenaikan harga minyak dunia. Ia memberi rekomendasi beli saham ELSA dengan target Rp 650 per saham.
Menurut dia, ELSA tengah diguyur sentimen positif berkat rencana pembentukan holding perusahaan migas oleh pemerintah. “ELSA berpotensi mendapatkan kontrak-kontrak baru begitu holding migas terealisasi,” ungkap dia.
Sama seperti William, Arandi juga memfavoritkan ELSA sebagai emiten migas yang paling menarik sepak terjangnya saat ini.
Adapun Rudy turut menjagokan MEDC di samping ELSA. Di tengah tren kenaikan harga minyak dunia, kinerja MEDC juga berpotensi menanjak setelah proyek blok A di kawasan Aceh dapat beroperasi pada tahun ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News