kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,34   -28,38   -2.95%
  • EMAS1.321.000 0,46%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Properti & komoditas tekan konglomerasi


Senin, 08 Agustus 2016 / 07:09 WIB
Properti & komoditas tekan konglomerasi


Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk, Dityasa H Forddanta, Emir Yanwardhana, Ghina Ghaliya Quddus, Narita Indrastiti | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

JAKARTA. Tantangan grup konglomerasi belum berakhir. Meskipun sebagian lini bisnis grup bertumbuh, sebagian besar lain masih tertekan. Itu juga sisi positif konglomerasi yang menyebabkan sahamnya menarik.

"Ketika sektor yang satu melemah, sektor yang lain bisa mengompensasi," kata David Sutyanto, Analis First Asia Capital, Jumat (5/8).

Direktur Eksekutif Asjaya Indosurya Securities William Surya Wijaya mengatakan, saham-saham konglomerasi bisnis menarik karena memiliki bisnis beragam. Misalnya, PT Astra International Tbk (ASII) memiliki bisnis otomotif sementara grup lain, seperti MNC dan Rajawali tidak.

"Setiap konglomerasi memiliki sisi menariknya masing-masing dengan lini bisnis masing-masing," kata William.

Naik turunnya kinerja emiten terjadi hampir di seluruh grup konglomerasi. Grup Astra dengan induk ASII mencatatkan penurunan pendapatan 5% menjadi Rp 88,2 triliun pada semester pertama. Laba bersih merosot 12% menjadi Rp 7,1 triliun.

Penurunan kinerja ini akibat melorotnya pendapatan bersih dari sektor alat berat dan pertambangan, serta sektor agribisnis. Sektor otomotif justru mencetak peningkatan kinerja.

Grup Sinarmas bernasib serupa. Bisnis properti melambat, tercermin dari kinerja PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE). Laba bersih BSDE merosot 41,9% menjadi Rp 821,8 miliar dibandingkan semester pertama tahun lalu. Perlambatan ini sejalan penurunan pendapatan 15,2% menjadi Rp 2,87 triliun.

Sementara bisnis keuangan grup ini meningkat. Laba bersih PT Sinarmas Multiartha Tbk (SMMA) tumbuh 85,6% menjadi Rp 606,21 miliar seiring meningkat pendapatan 30,2% menjadi 6,481 triliun.

Hal serupa terjadi di Grup Lippo. Laba PT Lippo Cikarang Tbk (LPCK) melambat 25,79% menjadi Rp 354,62 miliar lantaran pendapatan turun 12,7% menjadi Rp 869,2 miliar. Di sektor ritel, PT Matahari Putra Prima Tbk (MPPA) merugi Rp 20,74 miliar, anjlok dari laba Rp 175,49 miliar tahun lalu.

Bisnis ritel lainnya, yakni PT Matahari Departement Store Tbk (LPPF) masih bertumbuh. Laba bersih di separuh pertama 2016 naik 78,8% menjadi Rp 1,16 triliun sejalan pertumbuhan pendapatan 34,8% menjadi Rp 3,37 triliun.

Dua konglomerasi yang berinduk perusahaan investasi, yakni Grup MNC dan Saratoga menghadapi naik turunnya kinerja. Dari sisi top line, performa PT MNC Investama Tbk (BHIT) relatif stagnan. MNC mencatat pendapatan Rp 6,29 triliun, turun 2% dibandingkan semester I-2015.

Akibat keuntungan kurs Rp 596,32 miliar, BHIT mencatat laba bersih Rp 446,04 miliar. Periode yang sama tahun lalu, BHIT rugi Rp 338,15 miliar.

Pendapatan perusahaan investasi PT Saratoga Investama Tbk (SRTG) sepanjang semester pertama melesat 31% ke Rp 5,09 triliun. Beban pokok anjlok 89% menjadi hanya Rp 227,1 miliar dari Rp 2,24 triliun. Alhasil, laba bersih naik lebih dari empat kali lipat dari Rp 1,19 triliun menjadi Rp 4,72 triliun.

Perlu dicatat, lonjakan kinerja ini efek penggunaan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 65; pengecualian konsolidasi dalam laporan kinerja keuangan SRTG. "Dengan PSAK ini lebih menggambarkan bisnis perusahaan secara lebih riil," ujar David.

Menurutnya, BHIT masih menarik ketimbang SRTG. Dia melihat, industri media masih memiliki ruang tumbuh. Saat ini baru Indihome yang head to head dengan Indovision. Bisnis keuangan yang baru saja dimasuki BHIT juga berpeluang tumbuh. Sementara, prospek SRTG lebih terbatas. Ini karena SRTG banyak bermain pada sektor komoditas.

Di sisi lain David melihat, tantangan ekonomi di separuh pertama tahun ini masih berat. "Perlambatan terutama terjadi di sektor properti," kata dia.

David melihat, prospek Grup Sinarmas bagus karena cukup fleksibel dan memiliki pengalaman kuat. BSDE berprospek kuat dalam jangka panjang dengan landbank luas sehingga ruang ekspansi masih besar. Sementara Grup Lippo masih akan sedikit tertekan, karena sangat mengandalkan bisnis properti. Di sisi lain, Lippo memiliki keunggulan di bisnis rumah sakit dan ritel.

Reza Priyambada, Kepala Riset NH Korindo, mengatakan, di Grup Lippo, pilihannya ada LPPF yang terus menunjukkan perbaikan performa. BSDE memiliki kekuatan landbank. Kinerja Grup Rajawali justru kompak lesu pada semester I tahun ini.

Keempat emiten Grup Rajawali, PT Golden Eagle Energy Tbk (SMMT), PT Express Transindo Utama Tbk (TAXI), PT Eagle High Plantation Tbk (BWPT), dan PT Fortune Indonesia Tbk (FORU) diprediksi sulit tumbuh hingga akhir tahun.

BWPT mencetak kerugian terbesar di antara emiten Rajawali, yakni merugi Rp 207 miliar. Bandingkan di semester I-2015 masih untung Rp 12,9 miliar. TAXI merugi Rp 42 miliar dan SMMT rugi Rp 14,5 miliar. "Saya melihat TAXI merugi akibat munculnya transportasi berbasis online," kata Deky Rahmat Sani, Analis NH Korindo Securities.

Menurutnya, perkembangan grup Rajawali masih sangat berat. Harga saham BWPT tetap naik di tengah penurunan kinerja, terkerek akibat rencana akuisisi Felda Global Ventures Holdings Bhd.

David melihat, emiten Rajawali belum ada yang layak untuk direkomendasikan. Dua grup lain, Grup Ciputra dan Salim belum melaporkan kinerja karena menggelar limited review laporan keuangan semester I-2016.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×