kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45930,39   2,75   0.30%
  • EMAS1.320.000 -0,38%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Perjanjian dagang RCEP rampung, berikut komentar Sritex dan Astra Agro Lestari


Selasa, 17 November 2020 / 21:51 WIB
Perjanjian dagang RCEP rampung, berikut komentar Sritex dan Astra Agro Lestari
ILUSTRASI. Anggota RCEP menyumbang sekitar 30% produk domestik bruto (PDB) global dan 28% perdagangan global.


Reporter: Nur Qolbi | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Setelah delapan tahun berunding, perjanjian dagang terbesar di dunia yakni Kerja Sama Ekonomi Komprehensif Regional atawa Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) akhirnya rampung. Sebanyak 15 negara terlibat dalam perdagangan bebas regional tersebut. 

Pesertanya terdiri dari sepuluh negara anggota ASEAN beserta lima negara mitra, yaitu China, Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru. Perjanjian dagang ini disebut yang terbesar karena anggota RCEP menyumbang sekitar 30% produk domestik bruto (PDB) global dan 28% perdagangan global.

Analis Binaartha Sekuritas M. Nafan Aji Gusta Utama mengatakan, perjanjian ini dapat menciptakan perdagangan bebas yang semakin liberal dan kompetitif di antara anggota ASEAN dan negara mitra. Pasalnya, arus barang dan jasa akan semakin mudah masuk dari dan ke berbagai negara. 

"Bagi Indonesia, perjanjian dagang ini memberikan kesempatan supaya produk unggulan kita bisa lebih mudah diekspor," tutur Nafan saat dihubungi Kontan.co.id, Selasa (17/11). Sebelumnya, Menteri Perdagangan Agus Suparmanto menyebutkan, RCEP berpotensi meningkatkan ekspor Indonesia ke negara peserta sebesar 8%-11% dan mendatangkan investasi ke Indonesia sebesar 18%-22%.

Baca Juga: India Melonggarkan Lagi Permohonan Investasi Langsung dari China

Menurut Nafan, ada sejumlah sektor usaha yang diuntungkan dengan perjanjian ini, utamanya yang merupakan andalan ekspor Indonesia. Sebut saja perkebunan dan pengolahan sawit, pertambangan, barang konsumsi berupa makanan, serta manufaktur, seperti tekstil, garmen, dan kendaraan. "Perjanjian ini membuka kesempatan Indonesia untuk memperbesar porsi ekspor produk-produk tersebut," ucap Nafan.

Emiten tekstil dan garmen berorientasi ekspor, PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex memang melihat ada peluang bagi produk-produknya untuk semakin masuk ke negara anggota RCEP. Apalagi, sejumlah negara memang sudah menjadi pelanggan Sritex. "Sebagai contoh, kami sudah ekspor ke China dan sebagian juga diimpor dari China karena namanya bisnis memang saling melengkapi," kata Corporate Secretary SRIL Welly Salam. 

Akan tetapi, yang menjadi perhatian Sritex, dampak perjanjian dagang ini tidak bisa hanya dilihat untuk satu perusahaan. Mengingat, Sritex memang sudah mampu bersaing dengan produsen global lainnya. Corporate Communication SRIL Joy Citradewi menuturkan, perjanjian dagang ini juga harus membuka peluang bagi pelaku usaha lain di industri tekstil dan garmen untuk bisa berkompetisi dengan pesaing global Sritex. 

Baca Juga: Perjanjian Dagang Internasional yang Disepakati Indonesia Masih Belum Optimal

Oleh karena itu, andaikan RCEP ini diratifikasi, Sritex berharap pemerintah bisa menggalakkan proses penandatangan perjanjian dagang Indonesia dengan Eropa (Indonesia-EU CEPA) dan manfaat dari perpanjangan fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) oleh Amerika Serikat. "Dengan begitu, misi Indonesia untuk maju di kancah global tetap akan tercapai tanpa merugikan para produsen lokal secara keseluruhan," kata Joy.

Sementara itu, Direktur Utama PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) Santosa menilai, RCEP, layaknya perjanjian dagang multilateral lainnya bertujuan untuk memperlancar pergerakan ekspor dan impor melalui instrumen tarif bea masuk. Meskipun begitu, untuk crude palm oil (CPO) dan turunannya, yang menjadi hambatan utama sebenarnya adalah isu keberlanjutan (sustainability). "Jadi, walaupun instrumen tarif bea masuk selama ini digunakan oleh negara-negara konsumen, tetap kuncinya ada pada keseimbangan supply dan demand itu sendiri," kata Santosa.

Menurut dia, sejak beberapa tahun terakhir, negosiasi perjanjian dagang Indonesia, baik bilateral maupun multilateral selalu memasukkan kelapa sawit sebagai komponen strategis. Akan tetapi, kadang terdapat hambatan dalam pelaksanaannya, seperti di pasar Eropa yang masih ada diskriminasi terhadap produk CPO dan turunannya.

Baca Juga: Jadi blok perdagangan terbesar dunia, apa itu RCEP? Seberapa besar pengaruh RCEP?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Trik & Tips yang Aman Menggunakan Pihak Ketiga (Agency, Debt Collector & Advokat) dalam Penagihan Kredit / Piutang Macet

[X]
×