Reporter: Annisa Aninditya Wibawa, Dityasa H Forddanta | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Ketika bursa menguat mulai awal bulan ini sampai akhir pekan lalu, seorang manajer investasi asal Eropa memperingatkan gejala dead cat bounce. Peringatan itu mulai tampak.
Mulai awal pekan ini, bursa kehabisan tenaga. Bahkan kemarin, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melorot 2,97% ke 4.472,02. Memang, pada 13 Oktober, IHSG sempat anjlok 3,19%.
Meski lebih rendah, penurunan IHSG kemarin diikuti penjualan bersih asing alias net sell lebih tinggi, mencapai Rp 998,81 miliar.
Penyebabnya ada dua. Pertama, kinerja keuangan emiten kakap mengecewakan. Gara-gara fundamental keuangan emiten lemah, IHSG tergantung pada keputusan The Fed di Amerika.
"Kali ini bursa kena cakar The Fed," kata manajer investasi asal Eropa, itu, kemarin.
Kepala Riset Universal Broker Satrio Utomo melihat kinerja emiten saham memang sedang kacau. Sekitar lima sampai tujuh emiten blue chips tak ada yang di atas ekspektasi pasar.
Satrio mencontohkan laba per saham PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) Rp 92,07. Padahal ekspektasinya Rp 900.
Setiawan Effendi, analis Phintraco Securities mengungkapkan hal senada. Kinerja emiten sejauh ini masih bisa dibilang positif. Hanya, pertumbuhan tidak sekencang sebelumnya.
Sentimen kinerja ini memperkuat sinyal penurunan dari sisi teknikal, setelah IHSG naik kencang. Tapi, penurunan indeks ini masih dalam taraf sehat. "Bisa dilihat dari pergerakannya kalau indeks sempat ke 4.100, bisa kembali lagi ke 4.500," tandas Setiawan.
Unsur profit taking investor juga bisa menjadi biang kerok anjloknya bursa. "Saham bank pelat merah telah naik hingga 30% dalam sebulan," tunjuk Kepala Riset OSO Securities Supriyadi.
Selain itu, pemodal juga mengantisipasi kenaikan fed rate. Tapi, menurut Satrio, rencana kenaikan suku bunga The Fed tak masalah. Kurs tengah Bank Indonesia menunjukkan, rupiah menguat ke Rp 13.562.
"Kalau rupiah tidak goyah, masalahnya bukan The Fed," ujar Satrio. Ia lebih melihat aksi fund manager melakukan rebalancing portofolio.
Menurutnya, beberapa fund manager membuang saham lain lalu membeli saham PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk (HMSP). Sebab, saham ini memegang kapitalisasi pasar terbesar, yakni Rp 426 triliun atau berbobot 9% terhadap IHSG.
Sehingga fund manager merasa harus memiliki HMSP. Satrio memperkirakan, IHSG akan tutup tahun di 4.800-4.950. Menurutnya, support IHSG berada di 4.270. Apabila tak merobek pertahanan itu, IHSG terus menanjak hingga penghujung 2015.
Supriyadi optimistis, akhir tahun IHSG berada di posisi 4.800-5.100. Asalkan, belanja infrastruktur mampu terserap di atas 85% pada akhir tahun.
Menurut Setiawan, jika melanjutkan pelemahan, indeks bakal ke 4.368. Bisa juga indeks kembali ke level aman, sekitar 4.500. Apalagi, ketika ada window dressing pada akhir tahun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News