kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Mata uang Garuda masih loyo


Sabtu, 12 Mei 2018 / 14:20 WIB
Mata uang Garuda masih loyo


Reporter: Grace Olivia | Editor: Sofyan Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pelemahan rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) belakangan membuat pelaku pasar khawatir. Mata uang Garuda bahkan sempat menembus ke atas Rp 14.000 per dollar AS. Jika dihitung sejak awal tahun hingga Jumat (11/5), rupiah melemah 2,99% menjadi Rp 13.960.

Pelemahan nilai tukar rupiah rupanya bukan hanya terjadi terhadap dollar AS. Sepanjang tahun ini, nilai tukar rupiah juga masih melemah terhadap sejumlah mata uang asing lainnya. Ambil contoh, terhadap euro, rupiah terkoreksi 2,55% secara year-to-date (ytd).

Terhadap mata uang tetangga, dollar Singapura, rupiah juga masih melemah hingga 3,05% ytd. Rupiah semakin tak berdaya saat dihadapkan dengan yen, di mana pasangan JPY/IDR anjlok 6,10% sepanjang tahun ini.

Ekonom Samuel Sekuritas Ahmad Mikail mengatakan, salah satu pemicu utama pelemahan rupiah ialah kondisi transaksi berjalan Indonesia yang masih defisit. "Sementara, negara tetangga seperti Singapura, Malaysia dan Thailand, mencatat surplus pada transaksi  berjalannya," ujar Mikail, Jumat (11/5).

Adapun, hari ini, Bank Indonesia merilis defisit transaksi berjalan kuartal I 2018 sebesar US$ 5,5 miliar atau 2,1% dari produk domestik bruto (PDB). Angka ini lebih rendah dari kuartal sebelumnya dengan defisit sebesar US$ 6 miliar atau 2,3% dari PDB.

Sementara, analis Pasar Uang Bank Mandiri Reny Eka Putri menilai, pelemahan rupiah terhadap mata uang asing lain sangat bergantung pada posisi terhadap dollar AS. Secara fundamental, perekonomian AS masih diselimuti sentimen positif setelah tingkat pengangguran AS pada April lalu turun menjadi 3,9% setelah enam bulan berturut-turut di level 4,1%.

Sebaliknya, pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal satu hanya 5,06%, lebih rendah dari ekspektasi pasar 5,2%. "Cadangan devisa bulan lalu juga makin berkurang menjadi US$ 124 miliar, salah satunya karena digunakan untuk menahan pelemahan rupiah," papar Reny.

Rupiah kian terpuruk lantaran investor asing keluar dari pasar keuangan dalam negeri. Selain itu, pelaku pasar juga tengah dilanda kekhawatiran terhadap disiplin fiskal Indonesia.

Pelaku pasar menilai pembangunan infrastruktur yang giat menambah rasio utang. "Memang rasio terhadap PDB saat ini masih di bawah 30%, tapi terus meningkat dan membuat pasar waspada," tutur Andri Hardianto, Analis Asia Tradepoint Futures.

Meski begitu, Andri menilai, rupiah berpeluang kembali menguat terhadap mata uang-mata uang asing tersebut. Dengan syarat Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuannya dalam waktu dekat.

Jika bank sentral memilih mengerek suku bunga, gairah pelaku pasar untuk masuk ke dalam aset Indonesia pun akan meningkat. Pasalnya, negara seperti Uni Eropa dan Jepang saat ini justru masih dalam kondisi moneter yang longgar.

Apalagi, dari segi pertumbuhan ekonomi, Indonesia juga masih lebih baik daripada Singapura. "Ini bisa jadi peluang," ungkap Andri. Menurut dia, naiknya harga komoditas minyak bisa semakin mendorong sektor pertambangan dan migas yang selama ini menjadi driver pertumbuhan ekonomi dalam negeri.

Begitu juga dengan Jepang. "Hingga sekarang tingkat ekspektasi inflasi Jepang semakin menurun, bahkan direvisi menjadi 1,8% dari sebelumnya 2%," ujar  Ahmad.    

Reny sepakat, nilai tukar rupiah berpeluang berbalik menguat terhadap mata uang asing jika Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuannya. "Setidaknya suku bunga satu kali sebesar 25 basis poin sebelum kuartal kedua berakhir," kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×