kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kinerja emiten keramik belum ciamik


Senin, 03 April 2017 / 10:05 WIB
 Kinerja emiten keramik belum ciamik


Reporter: Dede Suprayitno | Editor: Yudho Winarto

JAKARTA. Ada masanya jalan tidak selalu mulus. Begitu pula halnya, bisnis tidak selalu laris manis. Hasil penjualan yang lesu dan kurang bergairah bisa datang sewaktu-waktu. Inilah yang tengah dialami oleh para pengusaha sektor keramik.

Data Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) menyebut, sebanyak enam pabrik keramik terpaksa menyetop produksi. Masih kurangnya sentimen positif untuk industri membuat kinerja emiten keramik turun.

Sebagai penyedia produk turunan, industri keramik sangat bergantung pada kebutuhan permintaan sektor properti. Padahal, sektor ini tertekan selama 2016. Meski ada pertumbuhan, angkanya masih tipis. Alhasil, permintaan terhadap produk keramik juga merosot.

Sentimen negatif lain bagi sektor ini adalah penurunan bea masuk. Dengan kesepakatan perdagangan bebas China-ASEAN (CAFTA), bea impor produk keramik akan turun menjadi 5% di 2018, dari sebelumnya sebesar 20%.

Analis Binaartha Parama Sekuritas Reza Priyambada menyatakan, sebagai penyedia produk pendukung, penjualan produk keramik banyak terserap di sektor properti. Dia menyatakan, tren konsumen yang mencari tempat tinggal seken atau bekas pakai juga berpengaruh. "Pertumbuhan penjualan tidak terjadi karena rumah otomatis sudah ada keramiknya," ujar Reza, Jumat (31/3).

Lesunya industri keramik juga disebabkan oleh serbuan produk impor dari China. Salah satu contohnya menimpa PT Inti Keramik Alamasri Industri Tbk (IKAI). IKAI menghentikan produksi pabrik keramik anak usahanya, PT Internusa Keramik Alamasri. Anak usaha ini menjadi tulang punggung IKAI.

Reza menyatakan, aksi penutupan pabrik tersebut juga menjadi salah satu langkah efisiensi. Sebab, bila pasar properti belum bertumbuh, ceruk pasar belum tersedia. "Emiten harus menyesuaikan jumlah produk terjual dengan biaya yang ditanggung," tambah dia.

Selain properti, Reza menyatakan, serbuan produk China cukup menekan lokal. Biaya produksi yang lebih rendah membuat produk China diminati konsumen. Sebabnya, skala ekonomi yang dimiliki asing lebih efisien bagi pengembang properti. Selain itu, menurut dia, para pengembang juga mengembangkan produk low-end. "Sehingga standard agak diturunkan," kata Reza.

Analis Asjaya Indosurya Securities William Surya Wijaya juga mengakui peran besar properti pada penjualan produk keramik. Permintaan dari properti masih merah. Alhasil, emiten seperti IKAI, PT Keramika Indonesia Assosiasi Tbk (KIAS), PT Mulia Industrindo Tbk (MLIA), dan PT Arwana Citramulia Tbk (ARNA) tertekan. "Bisa mencari bisnis alternatif untuk membantu penjualan. Seperti sektor tambang yang menutup produksi tapi mengaktifkan trading," ungkap dia.

William melihat permintaan properti hunian akan bertumbuh. "Masih ada pertumbuhan, tapi tidak terlalu cepat. Properti jadi salah satu indikator utama," katanya.

Analis NH Korindo Securitas Bima Setiaji menyatakan, turunnya permintaan keramik, harga gas mahal, dan serbuan impor produk China dengan harga murah, membuat sektor ini tertekan dalam jangka pendek. Bima melihat, sektor ini akan positif dalam jangka menengah seiring kenaikan potensi permintaan pada sektor properti.

Bima memprediksi, tahun ini, akan ada pertumbuhan penjualan properti terutama pada rumah tapak dan apartemen. Selain karena adanya kebutuhan tinggi, ada stimulus pemerintah pada 2016, berupa relaksasi KPR dan izin pembelian properti oleh orang asing.

Analis Mandiri Sekuritas Ferdy Wan masih memandang positif prospek ARNA. "Kami masih suka karena memiliki fundamental yang solid," terang Ferdy dalam risetnya 23 Maret 2017.

Dia menyatakan, dalam dua bulan pertama tahun ini, ARNA menjual 8,4 juta meter persegi keramik atau mencapai 16% dari target sepanjang 2017. ARNA mengestimasi volume penjualan 51 juta meter persegi tahun ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×