kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,51   7,16   0.77%
  • EMAS1.335.000 1,06%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kemahalan, ORI-011 belum diminati MI


Senin, 22 Desember 2014 / 08:01 WIB
Kemahalan, ORI-011 belum diminati MI
ILUSTRASI. PT Pertamina (Persero) bakal menjual bahan bakar minyak (BBM) jenis baru yang disebut Pertamax Green 95. KONTAN/Cheppy A. Muchlis


Reporter: Noor Muhammad Falih | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

JAKARTA. Sudah lebih dari sebulan, Obligasi Negara Ritel seri ORI-011 diperdagangkan di pasar sekunder. Namun, surat utang bertenor tiga tahun ini belum mampu menjaring minat manajer investasi (MI) membundel sebagai aset dasar reksadana. Padahal, sepanjang Oktober lalu, ORI-011 menjadi instrumen utang pemerintah yang paling ramai diperdagangkan di pasar sekunder.

Volume transaksinya Rp 51,81 triliun, dengan frekuensi transaksi 16.578 kali. Sayang, ramainya transaksi di pasar sekunder tak lantas membetot minat MI untuk memburu sebagai aset dasar reksadana. Sejumlah MI menyatakan, hasil investasi ORI-011 kurang menarik. Apalagi pasokan instrumen tersebut di pasar sekunder tak sebesar kebutuhan mereka.

Sekadar mengingatkan, ORI-011 diterbitkan pada 22 Oktober 2014. Harga par saat diterbitkan senilai 100, dengan kupon 8,50%. Kemudian, per 12 November lalu, instrumen ini mulai diperdagangkan di pasar sekunder. Hingga 19 Desember 2014, yield surat utang ini sudah turun ke level 7,93%, sedangkan harganya naik menjadi 101,41.

Head of Operation and Business Development Panin Asset Management Rudiyanto mengklaim, pihaknya kesulitan mengoleksi ORI-011, meskipun instrumen ini likuid di pasar sekunder. Misalnya, MI membutuhkan porsi ORI-011 senilai Rp 25 miliar untuk aset dasar reksadana. Tapi, ternyata sangat sulit mencapai target tersebut, lantaran ORI-011 dipegang banyak pihak ritel.

Berbeda dengan Surat Utang Negara (SUN). "Kami hanya bisa beli dari satu institusi untuk satu seri SUN senilai Rp 25 miliar," paparnya. Alhasil, kalangan MI membutuhkan waktu dan tenaga lebih besar untuk mengumpulkan ORI-011 sesuai porsi yang dibutuhkan. "Istilahnya, biaya produksi lebih mahal, sedangkan untung tidak seberapa," kata Rudiyanto.

Sudah kemahalan

Pemain lain, seperti Sinarmas Asset Management (Sinarmas-AM) dan Bahana TCW Investment Management juga belum tertarik mengoleksi ORI-011 sebagai aset dasar reksadana. Direktur Sinarmas-AM Hermawan Hosein beralasan, harga ORI-011 sudah kemahalan. "Kalau harganya sudah di bawah par mungkin baru kami tertarik beli," ujarnya.

Menurut Hermawan, harga yang sudah tinggi bisa menjadi beban Sinarmas-AM pada tahun depan saat Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) menaikkan tingkat suku bunga. Langkah The Fed tersebut bisa memicu pasar surat utang Indonesia terkoreksi, termasuk harga ORI-011.

Presiden Direktur Bahana TCW Investment Management Edward Lubis mengutarakan hal senada. Menurutnya, dengan harga yang sudah di atas nilai par, pihaknya lebih memilih mengoleksi aset dasar lain. Misalnya, masuk ke deposito. "Masih banyak bunga deposito yang lebih tinggi dibandingkan yield ORI-011 saat ini," ungkapnya.

Edward menghitung, dengan yield ORI-011 kini di level 7,93, artinya dalam waktu sekitar sebulan, yield sudah terkoreksi hampir 60 basis poin ketimbang saat penerbitan. "Bisa dibilang, return tahunan reksadana pasar uang yang kami kelola bahkan masih lebih tinggi dibanding yield ORI-011 saat ini," ujarnya.

Tak heran, Edward menilai, ORI-011 tidak akan berkontribusi besar dalam mengerek tingkat imbal hasil reksadana. Dengan kondisi seperti itu, katanya, surat utang ritel ini tidak menarik dijadikan aset dasar reksadana.

Sementara itu, Samuel Asset Management menyatakan belum mengoleksi ORI-011, lantaran belum melakukan analisis mengenai kelayakan instrumen tersebut sebagai aset dasar reksadana. "Tapi, ke depan, bisa saja kami koleksi jika hasil analisa menunjukkan instrumen itu layak dijadikan aset," ungkap Presiden Direktur Samuel Aset Manajemen Agus Basuki Yanuar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×