kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ini saran bagi pasar obligasi Indonesia


Kamis, 03 September 2015 / 19:36 WIB
Ini saran bagi pasar obligasi Indonesia


Reporter: Maggie Quesada Sukiwan | Editor: Yudho Winarto

JAKARTA. Survei Standard & Poor’s (S&P) mengungkapkan bahwa ada ancaman tumpukan utang luar negeri swasta Indonesia. Analis menyarankan pemerintah untuk memanfaatkan kesempatan dengan menopang pasar obligasi dalam negeri.

Beberapa waktu lalu, S&P menyebutkan bahwa utang luar negeri korporasi Indonesia tumbuh dua hingga tiga kali lipat ketimbang utang lokal di periode 2010 – 2014.

Mengacu data Bank Indonesia (BI), utang luar negeri swasta tahun 2010 mencapai US$ 83,78 miliar. Per Juni 2015, utang luar negeri swasta sudah menggemuk hingga US$ 169,68 miliar.

Tumpukan utang korporasi dalam valuta asing (valas) tersebut memicu ramalan S&P bahwa pembayaran dengan skema refinancing akan menjadi gunung es yang menanti kapal pesiar yang melaju terlalu cepat.

Fixed Income Fund Manager Ashmore Asset Management Anil Kumar menyebutkan bahwa sentimen tersebut tak akan berdampak langsung ke mata uang rupiah. Ia justru menyarankan pemerintah untuk mencuri kesempatan atas ramalan S&P.

Dengan kenaikan utang luar negeri swasta, lanjut Anil, berarti para emiten memproyeksikan perekonomian dan daya beli masyarakat bakal pulih. Sehingga, mereka membutuhkan pendanaan tambahan untuk berekspansi.

Memang hal wajar apabila emiten berlomba-lomba berutang ke luar negeri. Suku bunga acuan Indonesia tercatat 7,5%. Alhasil, biaya dana atau cost of fun (cof) pinjaman perbankan domestik bisa melampaui angka tersebut. Sedangkan suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat (AS) hanya 0,25%. Sehingga, cof pinjaman utang luar negeri jelas lebih murah.

Apalagi pertumbuhan ekonomi Indonesia per kuartal II 2015 tercatat 4,67%, lebih rendah ketimbang pencapaian pada kuartal I 2015 yang berkisar 4,71%. “Bank dalam negeri juga enggan memberikan utang terlalu besar karena kondisi ekonomi Indonesia dan global masih melemah,” paparnya.

Oleh karena itu, saran Anil, pemerintah harus memanfaatkan kesempatan ini dengan mendayagunakan surat utang dalam negeri. Sehingga para emiten bisa mencari sumber pendanaan dari pasar obligasi Indonesia sebagai alternatif pinjaman perbankan luar negeri.

Namun, lanjut Anil, pemerintah juga harus menciptakan iklim pasar obligasi yang transparan. “Misalnya untuk penerbitan obligasi kan butuh rating. Harus jelas faktor apa saja yang memicu emiten tersebut bisa dapat rating segitu,” jelasnya.

Selain itu, Anil menyarankan pemerintah untuk membentuk electronic trading platform bagi pasar obligasi dalam negeri. Jika transaksi surat utang serupa dengan transparansi perdagangan saham di bursa, maka pasar obligasi dalam negeri akan semakin berkilau. Sebab, harga obligasi akan semakin terang benderang. Semua orang bebas menjual maupun membeli instrumen tersebut.

Tak lupa, kondisi tersebut juga harus didukung oleh regulasi yang memadai. “Ini momentumnya agar investor bisa akses pasar obligasi. Sehingga mereka bisa switching dari pinjaman perbankan jadi obligasi. Win-win solution untuk semua orang,” paparnya. Anil mengatakan kupon obligasi umumnya berkisar 9%. Sedangkan pinjaman perbankan menyematkan bunga hingga 13%.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×