kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Belum ada regulasi pajak, instrumen DINFRA kurang diminati


Kamis, 03 Mei 2018 / 21:41 WIB
Belum ada regulasi pajak, instrumen DINFRA kurang diminati
ILUSTRASI.


Reporter: Grace Olivia | Editor: Dupla Kartini

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan aturan soal dana investasi infrastruktur berbentuk kontrak investasi kolektif atau DINFRA, belum ada satupun manajer investasi yang berminat menerbitkan produk investasi alternatif ini. Selain minim sosialisasi, aturan pajak juga menjadi penghambat investor masuk ke instrumen yang diatur sejak Juli 2017 lalu ini.

Direktur Bahana TCW Investment Soni Wibowo menilai, diperlukan adanya keseragaman skema dan tarif pajak pada produk investasi alternatif untuk mempermudah investor masuk. Sejauh ini, ada empat jenis kontrak investasi kolektif (KIK) diatur OJK yaitu KIK RDPT, EBA, DIRE, dan teranyar DINFRA.

"Tapi, sampai sekarang, soal perpajakan DINFRA belum tersentuh sama sekali. Sebagai manajer investasi, kami mendorong terus supaya OJK bisa menyelesaikan aturannya setidaknya dalam tahun ini," ujar Soni, kepada Kontan.co.id, Kamis (3/5).

Pudjo Damaryono, Kepala Bagian Pendaftaran Produk Pengelolaan Investasi, Direktorat Pengelolaan Investasi OJK, mengakui, saat ini peraturan perpajakan untuk DINFRA masih dalam tahap koordinasi dengan Ditjen Pajak dan Kementerian Keuangan. "Kami sedang mengupayakan supaya nantinya keempat KIK bisa sama skema perpajakannya," ujar Pudjo.

Bahana TCW, menurut Soni, masih belum memiliki rencana pasti untuk menerbitkan DINFRA dalam waktu dekat. Pasalnya, ia masih terus menyaring informasi seputar proyek infrastruktur dan skema investasi alternatifnya agar nantinya dapat disampaikan kepada investor dalam konsep yang lebih mudah dipahami.

"Proyek infrastruktur itu kan rumit, jangka panjang pula. Investor pasti enggan menempatkan dana pada sesuatu yang mereka enggak pahami," imbuh Soni.

Untuk itu, Bahana juga tengah menggodok potensi return maupun risiko investasi melalui instrumen ini. Cara sederhana menjelaskan adalah dengan menunjukkan J-Curve proyek infrastruktur kepada para investor. J-Curve adalah kurva yang menggambarkan cash flow pendanaan infrastruktur.

Soni mencontohkan, proyek pembangunan pembangkit listrik di Pulau Jawa umumnya membutuhkan waktu setidaknya tujuh tahun hingga menerima positive income. "Kalau di daerah, Kalimantan misalnya, bisa lebih panjang lagi, sekitar 15-20 tahun hingga mendapat positif cashflow. Nah, ini yang perlu investor tahu sejelas-jelasnya sebelum investasi di infrastruktur," ujarnya.

Soni juga memberi gambaran ekspektasi imbal hasil dari beberapa proyek infrastruktur berdasarkan tingkat risikonya. Misalnya, jalan tol bisa menawarkan return 9%-10% per tahun. sementara, pembangkit listrik sekitar 13%-14% dan pelabuhan sekitar 14%-15%. "Besaran return tergantung jenis, durasi pembangunan, dan risiko proyek infrastruktur tersebut," paparnya.

Oleh karena itu, Soni menyebut, tahun ini Bahana masih akan lebih memilih menerbitkan KIK RDPT. Rencananya, Bahana akan bekerja sama dengan emiten BUMN di sektor konstruksi untuk menerbitkan RDPT terbarunya. Sayang, Soni masih enggan merinci apa proyeknya dan berapa nilai surat utang tersebut.

"Masih negosiasi. Ada juga EBA nanti di tahun ini, tapi masih dalam penjajakan," pungkas Soni.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×