Reporter: Nathania Pessak | Editor: Rizki Caturini
JAKARTA. Setelah sempat menyentuh level tertinggi dalam tiga tahun terakhir di US$ 89,35 per metrik ton pada Selasa (1/8) lalu, harga batubara terus mengalami koreksi. Kamis (3/8), harga batubara kontrak pengiriman Oktober 2017 di ICE Europe anjlok 1,51% ke posisi US$ 87,75 per metrik ton. Meski begitu, dalam satu pekan, harga si emas hitam ini tetap terangkat 5,9%.
Direktur Garuda Berjangka Ibrahim menyatakan, harga batubara terkikis aksi ambil untung (profit taking). "Ini wajar terjadi. Lagipula kalau harga tinggi siapa yang mau beli," ujarnya, Jumat (4/8).
Menurut Research & Analyst Asia Tradepoint Futures Deddy Yusuf Siregar, batubara juga terkena efek dari penurunan harga minyak mentah dunia. Kemarin, harga minyak WTI melorot 0,65% jadi US$ 48,71 per barel. "Batubara, kan, substitusi dari minyak. Kalau harga minyak koreksi, batubara juga ikut terkena imbasnya," kata dia.
Sentimen negatif lainnya datang dari Indonesia. Yakni, wacana PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang ingin mengakuisisi tambang batubara guna memenuhi kebutuhan megaproyek listrik 35.000 megawatt (MW).
Namun, ke depan katalis positif bakal lebih kuat menarik harga batubara ke atas. Tren kenaikan permintaan mulai terjadi di China dan India. Walau berusaha membatasi penggunaan batubara, ternyata permintaan India malah naik 2,2% selama tujuh bulan pertama 2017.
Tren bullish
Angin segar juga berembus dari Eropa, setelah Jerman dan Italia mengerek permintaan batubara guna mengamankan suplai listrik. Selain itu, Uni Eropa berencana memperpanjang penggunaan batubara untuk pembangkit listrik di kawasan benua biru.
Asal tahu saja, permintaan batubara Eropa meningkat dan menyebabkan ekspor batubara Amerika Serikat (AS) periode Januari hingga Mei tahun ini melesat sampai 60% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
"Hingga kuartal III 2017, harga batubara masih berpotensi bullish, karena fundamentalnya masih bagus," tegas Deddy. Apalagi, suntikan tambahan datang pasca dua perusahaan tambang asal China, Ha'erwusu dan Baorixile, tidak bisa berproduksi.
Memasuki musim panas yang ekstrem juga membuat produksi batubara di Indonesia terganggu. Itu bisa berarti, kekurangan produksi mulai mengintai. "Sampai saat ini, cuaca masih jadi sentimen yang sangat berpengaruh ke harga," ucap Ibrahim.
Karena itu, Ibrahim memproyeksikan, harga batubara pekan depan kembali menguat di kisaran harga US$ 86,2 hingga US$ 90,3 per metrik ton. Sementara Deddy memperkirakan, awal pekan depan, harga batubara mengalami koreksi sesaat di level US$ 86 sampai US$ 89.
Secara teknikal, harga batubara bergulir di atas moving average (MA) 50, MA100, MA200 dan menunjukkan potensi penguatan. Sedangkan relative strength index (RSI) dan moving average convergence divergence (MACD) masing-masing berada di area 66 serta area positif. Tetapi, ada potensi koreksi mengingat indikator stochastic yang berada di area 94 yang cenderung overbought.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News