kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menilik prospek saham tambang nikel


Minggu, 24 September 2017 / 14:18 WIB
Menilik prospek saham tambang nikel


Reporter: Tane Hadiyantono | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - Harga komoditas logam makin mengilap. Harga nikel kontrak tiga bulan London Metal Exchange sempat menyentuh level tertinggi di US$ 12.250 per metrik ton pada awal September ini alias level tertinggi sejak Juni 2015.

Tren manufaktur dari China serta kemungkinan pemerintah Filipina membatasi produksi nikel membuat saham sektoral nikel menarik untuk dicermati. "Emiten nikel sangat bergantung terhadap harga nikel dunia," jelas Yuni analis NH Korindo kepada KONTAN, Jumat (22/9).

Menurut dia, sentimen yang bakal membayangi emiten adalah kenaikan harga komoditas. Apalagi tren manufaktur dari China sempat memacu permintaan pada komoditas ini.

Tambah lagi, Presiden Filipina Rodrigo Duterte pada rapat kongres tahunan pada Juli lalu menyatakan bakal memangkas produksi nikel demi memperbaiki lingkungan. Duterte mengancam bakal meningkatkan pajak pada sektor tambang mineral dan menyebabkan naiknya harga nikel sebesar 2,7% pada perdagangan LME pada pekan tersebut.

Filipina saat ini memang memegang kunci sebagai produser nikel ore terbesar di dunia. Bila produksi nikel Filipina benar dibatasi, maka produsen Indonesia dapat mengisi celah dan memasok stok yang terkoreksi. Dengan demikian, dalam momentum harga nikel dunia meningkat, harga jual rata-rata para emiten nikel akan tinggi dan berdampak positif bagi kinerja keuangan emiten tambang nikel domestik.

Yuni melanjutkan, kestabilan harga emiten nikel menjadi hal yang harus diperhatikan untuk menerapkan strategi yang berkelanjutan. Secara umum ia melihat bila harga nikel dapat stabil di kisaran US$ 11.000 per ton, maka akan sangat baik untuk proyeksi emiten tambang nikel dalam jangka panjang.

Harga kontrak nikel bakal jadi sorotan besar terutama untuk emiten PT Vale Indonesia Tbk (INCO). Menurut Yuni, prospek emiten INCO ke depan agak berat. Pasalnya pada kuartal II-2017, emiten ini mencatat penurunan volume penjualan 13% year on year dan penurunan produksi nikelnya hingga 4,4% sejak 2016.

Dengan demikian, INCO bakal sangat tergantung dengan proyeksi harga komoditas, Bbila harga nikel tergelincir, maka prospek INCO menjadi kurang bagus.

Yuni memperhatikan INCO mengalami perlambatan karena naiknya beban pokok pendapatan yang disinyalir dari biaya bahan bakar yang meninggi. Dalam riset yang ia tulis, biaya bahan bakar naik 43% menjadi US$ 33 juta naik dari US$ 23 juta periode sama tahun lalu. "Bila INCO dapat mencari strategi untuk menekan beban pokok dan menaikkan volume penjualan, maka dapat mengerek kinerja keuangan dan sahamnya," kata Yuni.

Pada akhir tahun, Yuni memperkirakan INCO dapat memacu produksi nikel hingga 77.000 ton. Mengenai prospek akhir tahun, Yuni memperkirakan INCO dapat meraih kenaikan pendapatan hingga 7,9% menjadi US$ 630 juta hingga akhir tahun. Sedangkan pada tahun 2018, pendapatannya bakal naik tipis ke US$ 647 juta. Laba bersih tahun ini dapat mencapai US$ 8 juta dan tahun depan baru akan melonjak ke US$ 26 juta.

Sedangkan untuk PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), Yuni melihat potensi pada feronikel memberikan dorongan besar pada emiten karena memiliki harga jual yang lebih tinggi. Pada kuartal II-2017, produk feronikel berkontribusi cukup besar di 38% pada total penjualan ANTM. Sedangkanya nikel ore memberikan kontribusi 9%. Feronikel merupakan produk turunan dari nikel ore.

ANTM tahun in menargetkan penjualan volume feronikel dapat mencapai 24,100 (TNi) hingga akhir tahun 2017. Target ini sesuai dengan proyek ekspansi pabrik feronikel di Pomala yang dapat meningkatkan kapasitas produksi dari 18.000-20.000 TNi menjadi 27.000-30.000 TNi.

Satu lagi emiten nikel yang dapat dipantau adalah PT Central Omega Resources Tbk (DKFT). Walau pergerakan saham ini tidak begitu likuid, Yuni melihat potensi emiten dapat menarik perhatian pasar pasca izin ekspor nikel dari Kementrian ESDM yang baru diperoleh emiten ini. Ekspor nikel bakal dilakukan oleh anak perusahaan PT Mulia Pasific Resources. Melalui izin tersebut, DKFT mendapatkan kuota ekspor sebesar 700.000 wet metric ton (WMT).

Yuni merekomendasikan buy untuk saham ANTM dengan target harga di Rp 960 dan hold INCO di Rp 2.560. Untuk INCO sendiri, analis NH Korindo ini telah mengapresiasi target harga dari sebelumnya di Rp 2.305 per saham.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×