kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45927,64   6,18   0.67%
  • EMAS1.325.000 -1,34%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Emiten konsumer menanti efek kenaikan suku bunga


Senin, 04 Juni 2018 / 08:47 WIB
Emiten konsumer menanti efek kenaikan suku bunga
ILUSTRASI.


Reporter: Dimas Andi | Editor: Dupla Kartini

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) 7-day repo rate (7-DRR) diyakini belum akan mempengaruhi permintaan masyarakat terhadap emiten sektor konsumer. Namun, emiten tetap harus waspada jika kenaikan suku bunga acuan gagal menjaga stabilitas nilai tukar rupiah di kemudian hari.

Seperti yang diketahui, Rabu (30/5) lalu BI memutuskan menaikkan suku bunga acuan menjadi 4,75% melalui Rapat Dewan Gubernur tambahan. Ini merupakan kenaikan suku bunga acuan kedua oleh BI sebulan terakhir.

Analis Danareksa Sekuritas Natalia Sutanto menyebut, daya beli masyarakat tidak terlalu terpengaruh oleh dampak kenaikan BI 7-DRR. Dalam hal ini, permintaan terhadap produk konsumsi tidak akan berkurang.

Apalagi, kenaikan tersebut berdekatan dengan momen libur hari raya Idul Fitri. Momen ini membuat peningkatan konsumsi masyarakat akan sulit dibendung dalam kondisi apapun. "Barang konsumer itu berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, sehingga masyarakat akan tetap membelinya," kata Natalia beberapa waktu lalu.

Kepala Riset Koneksi Kapital Alfred Nainggolan berpendapat, kenaikan BI 7-DRR lebih condong mempengaruhi beban pengeluaran emiten di sektor konsumer. Ini akan terjadi dengan asumsi kenaikan suku bunga acuan akan diikuti kenaikan suku bunga kredit dalam waktu dekat.

Di samping itu, kenaikan suku bunga acuan pada dasarnya ditujukan untuk meredam pelemahan rupiah. Alhasil, kenaikan ini seharusnya dapat menjadi angin segar buat emiten sektor konsumer.

Menurut Alfred, jika rupiah melemah lebih dari 5% secara year to date (ytd), beban pengeluaran perusahaan akan semakin membengkak. Ini terutama akan dirasakan emiten yang menggunakan bahan baku impor dalam jumlah besar untuk produksi.

Namun, di sisi lain, Alfred juga berpendapat bahwa emiten di sektor konsumer tetap mesti waspada, karena kenaikan BI 7-DRR belum tentu membuat rupiah stabil dalam jangka panjang. Penguatan rupiah akhir-akhir ini baru sekadar pemulihan sementara saja, jelas dia.

Natalia menambahkan, potensi pelemahan rupiah memang masih cukup terbuka, mengingat tekanan dari eksternal cukup kuat. Karena itu, emiten konsumer masih belum lepas dari risiko peningkatan beban biaya.

Kendati begitu, Natalia menilai, emiten konsumer belum akan menaikkan harga produk dalam waktu dekat untuk mengantisipasi tekanan pengeluaran. "Mungkin kalau rupiah tak kunjung stabil hingga semester dua akan ada pertimbangan emiten untuk menaikkan harga," tutur dia.

Analis Paramitra Alfa Sekuritas William Siregar menambahkan, adanya momen libur Lebaran membuat permintaan terhadap produk konsumsi meningkat. Masyarakat tentu cenderung menginginkan produk dengan harga murah pada saat momen tersebut berlangsung. Alhasil, opsi menaikkan harga produk saat ini bukanlah pilihan yang tepat bagi emiten konsumer.

Menurut William, strategi efisiensi lebih cocok diterapkan oleh emiten konsumer terkait dengan kondisi terkini. Ia memberi contoh, jika suatu emiten memiliki ketergantungan terhadap bahan baku impor, emiten tersebut dapat memperbesar stok bahan baku impornya lebih dini agar dampak pelemahan kurs rupiah dalam jangka panjang dapat diminimalisir.

Perluas ekspor

Selain itu, pihak emiten juga dapat menjadikan pelemahan nilai tukar rupiah saat ini sebagai momentum memperbesar porsi ekspor produknya. "Biasanya emiten akan mendapat keuntungan yang optimal ketika mengekspor barang saat rupiah dalam posisi melemah," kata William.

Alfred menganalisa, apabila kebijakan BI menaikkan suku bunga gagal menjaga kurs rupiah tetap stabil, emiten harus memilih antara margin dan harga jual. Apabila emiten ingin level margin tetap, mau tak mau emiten harus menaikkan harga produk. Namun apabila emiten tidak mau menaikkan harga, emiten harus siap margin tergerus akibat tekanan nilai tukar rupiah.

Alfred menilai, saat ini emiten konsumer akan berpikir panjang apabila ingin menaikkan harga jual produknya. Maklum saja, persaingan di sektor barang konsumer tergolong sangat ketat.

Belum lagi, masyarakat cenderung loyal terhadap produk-produk konsumsi dengan brand yang kuat. Kebijakan harga dapat berpengaruh terhadap pangsa pasar emiten yang bersangkutan, ungkap Alfred.

Terlepas dari itu, Natalia berpendapat, emiten-emiten sektor konsumer masih berpeluang mencatatkan pertumbuhan kinerja positif pada tahun ini. Ia pun menjagokan saham PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF) dan saham PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) pada tahun ini. Selain valuasi saham sudah tergolong murah, kinerja kedua emiten tersebut masih dapat meningkat berkat branding produk yang kuat.

Natalia merekomendasi beli saham INDF dan ICBP. Ia mematok target harga INDF sebesar Rp 8.000 per saham dan target harga ICBP Rp 9.400 per saham.

William memutuskan bersikap netral terhadap saham di sektor konsumsi. Namun, jika menilik dari potensi kinerja emiten-emiten yang bersangkutan, ia menyukai PT Mayora Indah Tbk (MYOR). Senada, Alfred juga memfavoritkan MYOR berkat kinerja apik yang ditunjukan perusahaan sepanjang kuartal I-2018.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Trik & Tips yang Aman Menggunakan Pihak Ketiga (Agency, Debt Collector & Advokat) dalam Penagihan Kredit / Piutang Macet Managing Customer Expectations and Dealing with Complaints

[X]
×