kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Beleid harga berpotensi menurunkan pendapatan emiten batubara hingga 10%


Jumat, 09 Maret 2018 / 19:18 WIB
Beleid harga berpotensi menurunkan pendapatan emiten batubara hingga 10%
ILUSTRASI. Alat Berat Mengangkat batubara di Tambang Bukit Asam


Reporter: Riska Rahman | Editor: Sofyan Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penetapan aturan harga domestic market obligation (DMO) untuk batubara bakal jadi pukulan bagi kinerja emiten batubara. Aturan ini dipandang analis bisa menekan pendapatan emiten selama dua tahun ke depan.

Presiden Joko Widodo sudah menandatangani beleid harga batubara untuk pembangkit listrik dalam negeri yang berlaku sampai tahun 2019 pada 7 Maret 2018. Dalam peraturan ini, harga batubara DMO akan ditetapkan memakai fixed price US$ 70 per ton untuk batubara dengan kalori 6.322 Kcal, jauh di bawah harga batubara acuan (HBA) saat ini sebesar US$ 101,86 per ton. Adapun harga batubara dengan kalori 4.200 Kcal-5.700 Kcal juga akan mengalami penurunan sesuai dengan penetapan harga ini.

Peraturan ini dipandang Analis NH Korindo Yuni bakal berdampak negatif ke performa penjualan emiten batubara. Meski begitu, ia melihat hal ini tak terlalu memberikan dampak signifikan terhadap kinerja para emiten batubara.

"Peraturan ini hanya mengharuskan emiten batubara menjual 20%-25% dengan harga DMO, sementara sisanya bisa dijual dengan harga pasar," ujar Yuni kepada Kontan.co.id, Jumat (9/3). Namun, berkat peraturan ini emiten batubara pendapatan emiten batubara diprediksi bisa tertekan sebesar 7,5% sampai 10% hingga 2019.

Di sisi lain, Yuni melihat adanya peraturan pembatasan harga jual batubara untuk keperluan dalam negeri ini belum tentu membuat kinerja PT Bukit Asam Tbk (PTBA) bakal tertekan drastis. Meskipun PTBA memasok hingga 65% dari hasil produksinya untuk keperluan pembangkit listrik PLN, penurunan kinerja anak usaha PT Inalum ini masih tetap terjaga lantaran hanya sekitar 25% dari hasil produksi mereka saja yang terdampak dari aturan ini. "PTBA bisa menjual sisanya mengikuti harga pasar yang berlaku," terangnya.

Tetapi aturan ini masih akan tetap memberatkan kinerja PTBA ke depannya. Hasil produksi batubara PTBA yang cenderung berkalori rendah membuat mereka tidak bisa menjual batubaranya dengan harga yang tinggi. Selain itu, porsi ekspor yang cenderung lebih kecil dibanding emiten batubara lainnya, yaitu sekitar 30%-35%, membuat pendapatan dari ekspor belum mampu menutup kerugian yang timbul akibat penurunan harga jual batubara di luar negeri.

Kondisi ini tidak dirasakan oleh PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG). Tingginya kalori batubara yang dihasilkan oleh ITMG membuat emiten ini berpotensi menjual mayoritas hasil produksinya ke luar negeri lantaran pembangkit listrik di Indonesia masih menggunakan batubara berkalori rendah. Secara historis pun rata-rata harga jual (average selling price/ASP) batubara ITMG berada di harga US$ 92-US$ 100 yang membuat mereka mampu menjual batubaranya dengan harga tinggi. Dengan begitu, kinerja ITMG diprediksi masih akan terjaga berkat tingginya potensi pendapatan dari penjualan ekspor.

Lalu, bagaimana dengan PT Adaro Energy Tbk (ADRO) dan PT Indika Energy Tbk (INDY)? Menurut Yuni, kedua emiten ini juga masih akan terbantu oleh pendapatan mereka dari penjualan ekspor, tetapi kinerja mereka tahun ini pun juga akan cenderung tertekan layaknya kinerja PTBA. "Sebab harga jual batubara ADRO dan INDY tidak bisa setinggi ITMG karena kedua emiten ini memproduksi batubara kalori tinggi maupun rendah," pungkasnya.

Namun jika dilihat secara keseluruhan, sektor batubara masih cukup prospektif lantaran adanya potensi kenaikan konsumsi batubara dunia. Sayang, untuk saat ini harga saham sektor batubara sudah cenderung mahal. Oleh karena itu, Yuni masih merekomendasikan hold untuk saham ITMG, ADRO, dan PTBA.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×