kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Batubara memimpin kenaikan harga komoditas energi


Selasa, 26 Desember 2017 / 16:59 WIB
Batubara memimpin kenaikan harga komoditas energi


Reporter: RR Putri Werdiningsih | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Meski tahun 2017 belum berakhir, kinerja batubara terlihat memuaskan. Sejak awal tahun hingga akhir pekan (22/6) lalu, harga batubara melambung 26,18%. Kebijakan tambang dan pengurangan polusi di China menjadi sentimen positif yang mengendalikan harga.

Mengutip Bloomberg, pada penutupan perdagangan Jumat (22/12) batubara kontrak pengiriman Maret 2018 di ICE Futures Exchange tercatat melemah 0,26% ke level US$ 97,35 per metrik ton ketimbang hari sebelumnya.

Wahyu Tribowo Laksono, Analis PT Central Capital Futures mengatakan, sentimen utama penggerak harga batubara datang dari reformasi tambang di China. Ketika pembatasan produksi diberlakukan, harga batubara yang semula di tahun 2016 sempat menyentuh kisaran US$ 50 per metrik ton harganya merangkak naik.

Namun di akhir kuartal II 2017 penguatannya mulai sedikit tertahan karena keraguan pasar terhadap penerapan reformasi tambang China. Harganya sempat menyentuh level US$ 69,00 per metrik ton. “Memasuki akhir kuartal II 2017 harga sinyal penguatan mulai kembali terlihat karena musim dingin,” kata Wahyu kepada Kontan.co.id, Selasa (26/12).

Kenaikan permintaan di China dan Korea Selatan menjadi katalis positif yang menjaga penguatan harga. Apalagi di China langkah pemerintah untuk menekan kadar polusi udara dengan beralih menggunakan gas alam justru kembali menjadi bumerang karena keterbatasan pasokan.

Akhirnya beberapa daerah di negeri Tirai Bambu itu kembali menggunakan batubara. “Harga spot batubara naik kembali di atas $ 100 per ton,” imbuh Wahyu.

Selain itu, penguatan harga batubara juga disokong oleh keputusan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk keluar dari perjanjian iklim Paris. Bahkan di tahun 2017 ini Energy Information Administration sudah memperkirakan bakal terjadi kenaikan produksi sekitar 7,8% dari 728 juta ton menjadi 785 juta ton.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×